News & Events
Daimyo yang Menjadi Pemimpin Jepang Era Feodal
- January 7, 2023
- Posted by: Appkey 001
- Category: Sejarah jepang
Seorang Daimyo adalah penguasa Jepang di era feodal dari abad ke 12 hingga abad ke 19, status ini berarti memiliki kekuasaan dalam hal tanah dan pengikut shogun. Setiap pemilik tanah mampu menyewakan pasukan berupa prajurit samurai, tujuannya untuk melindungi diri dari ancaman orang-orang jahat serta melindungi harta benda dari para pencuri pada masanya.
Daimyo Jepang
Kata ‘Daimyo’ berasal dari bahasa Jepang yang terdiri dari dua kata, yaitu dai yang berarti ‘besar’, ‘berkuasa’, ‘hebat’, dan makna lainnya yang memiliki arti orang dengan kekuasaan besar. Namun secara tidak halus diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi ‘nama besar’, sedangkan kata ‘myo’ memiliki arti ‘hak atas tanah’.
Maka dari itu gabungan dua kata tersebut secara langsung mengindikasikan tentang seorang penguasa yang memiliki kepemilikan tanah, secara harfiah pun bisa diterjemahkan menjadi ‘pemilik tanah yang luas’. Di sisi lain, dalam bahasa Inggris istilah ini memiliki arti yang lebih dekat ke dalam makna ‘tuan’, seperti dalam periode waktu yang sama di Eropa.
Orang pertama yang menyandang gelar ini muncul dari kelas shogun, seseorang yang merupakan gubernur provinsi di Jepang selama Keshogunan Kamakura dari tahun 1192 hingga tahun 1333. Jabatan ini pertama kali dicetuskan oleh Minamoto no Yoritomo, orang yang pertama kali mendirikan Keshogunan Kamakura.
Seorang shugo ditunjuk oleh shogun untuk memerintah satu atau lebih provinsi atas namanya sendiri, para gubernur ini tidak menganggap provinsi sebagai milik mereka sendiri dan jabatan shugo juga tidak harus diturunkan dari seorang ayah kepada salah satu putranya. Shugo menguasai suatu provinsi semata-mata atas kebijaksanaan shogun.
Selama berabad-abad, kendali pemerintah pusat atas shugo melemah dan kekuasaan gubernur daerah meningkat dengan tajam. Shugo tidak lagi bergantung pada shogun untuk otoritas mereka pada akhir abad ke 15. Bukan hanya gubernur, orang-orang ini telah menjadi penguasa dan pemilik bagi provinsinya yang dikelola sebagai wilayah kekuasaan feodal.
Setiap provinsi memiliki pasukan prajurit samurai mereka sendiri, penguasa setempat pun memungut pajak dari para petani dan membayar para samurai atas namanya sendiri. Mereka telah menjadi penguasa dengan gelar Daimyo pertama di Jepang, sejak saat itulah gelar dan penamaan ini populer untuk digunakan di Jepang.
Daimyo sebagai Pemimpin
Pada tahun 1467 hingga tahun 1477, terjadi sebuah perang saudara yang disebut dengan perang onin di Jepang pasca suksesi shogunal. Keluarga bangsawan yang berbeda mendukung kandidat berbeda untuk kursi menjadi shogun, hal ini mengakibatkan kerusakan total di seluruh negeri. Setidaknya selusin Daimyo turun ke medan perang mengeluarkan pasukannya untuk saling memenangkan huru-hara berskala nasional
Satu dekade perang terus berkelanjutan membuat sang pemilik tanah kelelahan, tapi tidak mampu untuk menyelesaikan pertanyaan suksesi yang mengarah ke pertempuran tingkat rendah pada periode Sengoku. Era Sengoku merupakan masa 150 tahun yang dipenuhi kekacauan, di mana para pemilik tanah bertarung satu sama lain untuk mendapatkan wilayah baru.
Selain itu, hal ini dilakukan untuk memperebutkan shogun baru dan banyak hal lagi yang dilakukan di luar kebiasaan. Sengoku akhirnya berakhir ketika tiga pemersatu Jepang, yaitu Oda Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi, dan Tokugawa Ieyasu membuat para penguasa tanah tunduk dan memusatkan kembali kekuasaan di tangan Keshogunan.
Di bawah shogun Tokugawa, para pemilik tanah akan terus memerintah provinsi mereka sebagai wilayah kekuasaan pribadi mereka sendiri. Tetapi Keshogunan berhati-hati untuk membatasi kekuatan independennya mereka sendiri, maka dari itu pada masa-masa ini terdapat banyak kejadian yang diluar dugaan.
Kemakmuran dan Kejatuhan
Salah satu alat penting dalam gudang senjata shogun adalah sistem kehadirannya yang bergantian, di mana para tuan tanah harus menghabiskan separuh waktunya di Ibukota shogun di Edo (sekarang berubah nama menjadi Tokyo) dan separuh lainnya di provinsi. Ini memastikan bahwa para shogun dapat mengawasi bawahan mereka dan mencegah para penguasa menjadi terlalu kuat dan menimbulkan masalah.
Kedamaian dan kemakmuran pada era Tokugawa berlanjut hingga pertengahan abad ke 19 ketika dunia luar menjadi menyebalkan bagi Jepang dalam bentuk kapal hitam Komodor Matthew Perry. Menghadapi ancaman imperialisme barat, pemerintahan Tokugawa runtuh. Para tuan tanah kehilangan hak milik tanah dan kekuasaan mereka selama Restorasi Meiji tahun 1868.
Sebelum pemerintahan Tokugawa Ieyasu dimulai pada tahun 1603, terdapat samurai bernama shugo Daimyo yang aktif terutama di Kyoto. Dan Sengoku yang memerintah wilayah mereka sendiri di berbagai bagian Jepang, tetapi tipe utama yang dipikirkan orang Jepang ketika berbicara tentang Daimyo hari ini adalah penguasa feodal lokal.
Penguasa tanah dibagi menjadi tiga kategori, keluarga Tokugawa disebut sebagai shinpan. Sedangkan pengikut keturunan Tokugawa disebut dengan fudai, dan mereka yang baru saja menjadi pengikut disebut dengan tozama. Shinpan dan fudai bertanggung jawab atas wilayah penting, sedangkan tozama ditempatkan lebih jauh dari ibu kota Edo, Tokyo.
Tidak ada daimyo di Jepang saat ini, tetapi masih ada idiom yang mengandung makna serupa. Misalnya seperti daimyo ryokou yang berarti perjalanan yang sangat mewah, daimyo gai yang memiliki arti membeli produk dengan harga sesuai permintaan penjual, ada pula daimyo oroshi yang bermakna cara mewah untuk mengisi ikan tanpa memotong kedua perutnya.
Setelah Restorasi Meiji
Pada tahun 1869, setahun setelah Restorasi Meiji sang penguasa tanah bernama Kuge membentuk aristokrasi baru dengan nama kazoku. Pada tahun 1871, istilah han dihapuskan dan pada akhirnya istilah Prefektur didirikan. Pada tahun ini, sekitar 200 penguasa tanah mengembalikan gelar mereka kepada sang kaisar yang menggabungkan han atau wilayah mereka menjadi 75 Prefektur.
Pasukan militer mereka juga didemobilisasi dengan para penguasa tanah dan pengikut samurai mereka tidak bekerja kembali hingga pensiun, langkah untuk menghapus domain feodal secara efektif mengakhiri era sang tuan tanah di era Jepang, hal ini dilakukan secara efektif melalui keruntuhan finansial pemerintah domain feodal menghambat kemampuan mereka untuk melakukan perlawanan.
Setelah perubahan, banyak para pemilik tanah tetap memegang kendali atas tanah mereka. Setelah itu ditunjuk menjadi gubernur suatu Prefektur, namun mereka segera dibebaskan dari tugas ini dan dipanggil secara serentak ke Tokyo. Dengan demikian memutus basis kekuatan independen yang berpotensi memberontak, meskipun begitu anggota mantan penguasa tanah tetap menonjol di pemerintah dan masyarakat.
Untuk beberapa kasus bahkan hingga hari ini tetap memiliki hak ‘istimewa’ untuk beberapa hal, misalnya Morihiro Hosokawa sebagai mantan Perdana Menteri Jepang merupakan keturunan dari tuan tanah pada masa feodal yang menjadi keturunan dari Kumamoto. Di Indonesia sendiri, istilah tuan tanah pun cukup populer pada masa penjajahan.
Kendatipun begitu, nampaknya istilah penguasa tanah memang lazim digunakan pada masanya. Untuk saat ini di zaman modern, pemimpin sebuah negara memiliki gelarnya sendiri. Seperti seorang Presiden di Indonesia, seorang Kaisar di Jepang, seorang sultan di Brunei, dan masih banyak lagi contohnya. Untuk itu, ikuti selalu www.Jepang-indonesia.co.id untuk pembahasan konten budaya Jepang.