News & Events
Cerita di balik budaya minum teh di Jepang
- November 15, 2021
- Posted by: Appkey 001
- Category: Budaya Jepang
Mengenali budaya merupakan aspek penting bagi suatu masyarakat guna menghormati dan menghargai warisan leluhur. Sepeti misalnya budaya minum teh di Jepang. Bagi masyarakat Jepang, budaya satu ini memiliki nilai penting yang perlu dilestarikan. Terdapat cerita menarik di balik budaya minum teh ini yang harus kita ketahui, lo. Penasaran? Yuk, simak dengan seksama!
Awal mula munculnya budaya minum teh di Jepang
Tradisi minum teh Jepang ini mungkin terdengar akrab di telinga Anda, mungkin juga ada yang belum mengenal dengan baik asal usul dari budaya minum teh di Jepang ini. Kisah ini berawal dari dua orang samurai yang memiliki ambisi begitu besar dan seorang biksu yang rendah hati, dan dengan seiring berjalannya waktu begitu banyak ‘bumbu’ seperti politik dan pembunuhan mengiringi cerita budaya Jepang yang terkenal ini.
Upacara minum teh telah melekat menjadi sebuah identitas pada awal perkembangannya, yaitu pada abad ke-9. Seorang biksu bernama Eichu datang ke Jepang dengan membawa tanaman teh dari negeri Cina yang telah digunakan serta dikonsumsi selama berabad-abad. Kemudian sang biksu mencoba untuk menyajikan minuman teh tersebut kepada sang kaisar sebagai bentuk persembahan.
Tidak lama setelah itu, kekaisaran menetapkan untuk menanami tanaman teh di Jepang. Membuka ladang yang banyak untuk menyebarluaskan budaya minum teh Jepang. Seketika itu pula upacara minum teh menjadi sebuah budaya negara Jepang secara tidak langsung, karena pada prosesnya samurai yang memiliki status tinggi diperkenankan untuk mencicipi minuman tersebut.
Seberapa cepat penyebaran budaya minum teh di Jepang?
Membutuhkan waktu sekitar tiga abad untuk menjadikan teh sebagai upacara spiritual di Jepang. Tencha merupakan jenis teh pertama yang dikonsumsi. Sekedar informasi bahwa tencha merupakan jenis teh yang diperuntukkan bagi biara-biara Buddha. Kemudian seiring berjalannya waktu, tepatnya pada abad ke-13 tencha seakan menjadi sebagai simbolisasi status dalam masyarakat.
Para samurai Jepang diikutsertakan dalam sebuah ‘perlombaan’ dalam menebak jenis teh, dan bila tebakannya berhasil maka akan diberikan hadiah yang mewah. Sekedar pengetahuan tambahan, samurai adalah seorang pejuang dan pasukan yang dimiliki oleh kaisar. Seorang samurai biasanya memiliki pedang yang dikenal dengan nama katana. Jangan sampai keliru menyebutkan katana dengan istilah samurai lagi yaa!
Bersamaan dengan para samurai yang diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam menebak jenis teh ini, di saat bersamaan pula teh menjadi sebuah simbol kemewahan para bangsawan. Namun sayangnya terjadi sebuah gesekan yang memuncak hingga kurang lebih 200 tahun, dari pihak bangsawan yang menganut kemewahan dan dari pihak mereka yang menganut minimalisme. Hingga terjadi pertumpahan dari yang tidak bisa dihindari.
Perkembangan Budaya Minum Teh Di Jepang
Selepas tragedi pertumbuhan darah terjadi, pada abad ke-15 muncul dua orang tokoh penting dalam dunia teh budaya Jepang yaitu, Murata Juko dan Sen no Rikyuu. Kedua tokoh ini memiliki peran besar dalam budaya minum teh Jepang. Murata Juko merupakan seorang yang menganut agama Buddha dan dikenal sebagai bapak atau orang yang dianggap paling tinggi kedudukannya dalam upacara minum teh.
Beliau memiliki sebuah filosofi yang dirangkum menjadi empat nilai inti, yaitu sebagai berikut.
- Penghormatan.
- Kei yang memiliki arti ‘menghargai makanan dan minuman’.
- Sei yang menjadi simbol dari sebuah kemurnian hati jiwa dan raga.
- Ji yang memiliki makna ‘sebuah ketenangan diri serta kebebasan dalam menentukan keinginan’.
Keempat nilai inti tersebut merefleksikan sebuah metode Juko yang memiliki arti bahwa ‘upacara minum teh bisa dinikmati oleh siapapun dan budaya minum teh Jepang merupakan tradisi semua masyarakat yang didasari oleh tidak adanya keterikatan dengan nilai elit sosial seperti yang ada pada abad-abad sebelumnya.’
Kemudian tokoh sarunya adalah Rikyuu yang pada abad 16 beliau mencetuskan sebuah filosofi dengan istilah (ichi go, ichi e) atau dikenal dengan terjemahannya ‘satu kali, satu pertemuan’. Filosofi ini memiliki makna yang cukup mendalam tentang menghargai dan menghormati bahwa setiap satu pertemuan harus dinikmati dengan baik dan saling menghormati serta menghargai, karena pertemuan tersebut tidak akan bisa terulang kembali.
Akhir Kisah Budaya Minum Teh Di Jepang
Argumen tersebut akhirnya menjadi sebuah warisan bagi Rikyuu dalam memandang budaya minum teh di Jepang. Namun di sisi lain Rikyuu memiliki kedekatan dengan seorang samurai bernama Hideyoshi Toyotomi. Hideyoshi Toyotomi adalah seseorang yang sangat menganggap teh adalah hal yang penting demi sebuah kekuasaan dan mendukung sebuah upacara pertapaan dengan nama ‘jalan teh’.
Seiring berjalannya waktu, kedua orang tersebut memiliki ideologi yang bertentangan. Hideyoshi dengan pemahaman bahwa teh bisa menjadi alat pengendali masyarakat, erat kaitannya dengan politik dan bisa memberikan kemakmuran berupa kekuasaan. Sedangkan Rikyuu memiliki pemahaman mengenai teh adalah hal yang bisa dinikmati oleh semua kalangan, dan menganggap bahwa teh erat kaitannya dengan seni minimalis yang mengandalkan kesederhanaan.
Rikyuu tidak pernah memikirkan sama sekali bahwa teh hanya bisa dikonsumsi oleh kaum bangsawan saja atau menganggap teh merupakan hal yang begitu mewah. Rikyuu menganggap bahwa budaya minum teh Jepang adalah sebuah tradisi yang menyangkut kerendahan hati dan urusan spiritual. Sehingga kita bisa menemukan ketenangan dalam pencarian hidup.
Namun hal tersebut dianggap sebagai halangan bagi Hideyoshi. Kehadiran Rikyuu yang awalnya dianggap sebagai sekutu akhirnya menjadikannya musuh. Sehingga Hideyoshi selalu mencari cara bahwa ajaran Rikyuu tidak bisa tersebar dengan baik dan salah satu cara yang dilakukannya adalah dengan membunuh murid dari Rikyuu. Sebagai pesan bahwa Hideyoshi tidak menyukai ajaran yang disebarluaskan.
Tidak cukup sampai situ saja, Hideyoshi pun memberikan sebuah perintah pada tahun 1590 kepada salah satu mantan master upacara teh untuk membunuh dirinya sendiri. Tanpa adanya keegoisan dan kerendahan hati, sang master bersedia untuk bunuh diri karena telah dihasut serta diberikan kata-kata yang seakan menyejukkan hati.
Saat akan melakukan bunuh diri dengan sebuah belati, sang master menyebutkan sebuah untaian kata atau puisi yang memiliki arti:
“Selamat datang pedang keabadian,
Melalui Buddha dan Tuan Daruma, engkau telah membelah jalanmu”
Begitu kiranya kata-kata yang diucapkan oleh sang master sebelum melakukan proses eksekusi. Pada akhirnya Rikyuu membimbing para pengikutnya untuk selalu mengikuti ajaran kesederhanaan. Untuk menghindari perintah sang penguasa yang selalu hidup mewah kepada penduduk Jepang, lalu pada abad 20 seorang penulis bernama Okakura Kakuzou menulis buku dengan nama the book of tea. Buku yang mengajarkan arti upacara teh dan berbagai budaya negara Jepang mengenai minum teh.
Hingga saat ini upacara minum teh masih kerap kali dilakukan sebagai bentuk tradisi yang diwariskan oleh leluhur. Siapa sangka budaya yang sekarang terlihat membahagiakan memiliki sejarah cerita yang cukup kelam untuk disimak. Dan siapa yang mengira dari sebuah tanaman teh saja bisa mengakibatkan pertumpahan darah sesama penduduk Jepang. Maka dari itu penting untuk selalu mengetahui asal usul cerita dari sebuah budaya.