News & Events
Era Heisei Merupakan Periode Perbaikan bagi Masyarakat Jepang
- November 7, 2022
- Posted by: Appkey 001
- Category: Sejarah jepang
Era Heisei hadir di Jepang pada tahun 1989-2019 yang dipimpin oleh Kaisar Akihito. Hal ini bisa terjadi karena sang ayah meninggal dunia, sehingga sang anak bisa naik jabatan menjadi pemimpin. Sang ayah (Hirohito) merupakan penguasa pada zaman kaisar Showa, Penyebutan kata Heisei berasal dari dua kanji, yaitu Hei yang memiliki arti kedamaian dan Sei memiliki makna menjadi. Sehingga periode Heisei memiliki pemaknaan sebagai periode damai kala itu.
Era Heisei
Pada dekade pertama periode Heisei agak lebih tenang bagi negara Jepang daripada beberapa dekade terakhir periode Showa, untuk periode Showa sendiri berada pada tahun (1926-1989). Masa-masa ini merupakan keadaan Jepang dalam tahap pemulihan dan pertumbuhan dalam hal kekuatan ekonomi global, setelah bencana besar kekalahan dalam perang dunia ke II pada tahun (1939-1945).
Era Heisei ditandai oleh politik yang bergejolak ditandai dengan pergantian perdana menteri sebanyak 15 kali pada tahun pertama, perlambatan ekonomi yang berkepanjangan dan krisis di dunia keuangan merupakan beberapa penyebabnya. Gempa bumi yang mematikan dan merusak kota Kobe pun menjadi faktor pendukung lainnya.
Serangan gas saraf yang mematikan di jalur kereta bawah tanah Tokyo oleh anggota sekte keagamaan AUM Shinrikyo pada tahun 1995 pun memperparah keadaan, negara ini mengalami bencana alam yang bahkan lebih besar pada tahun 2011. Seperti misalnya bencana gempa bumi dan tsunami di timur laut Honshu yang memicu kecelakaan nuklir Fukushima.
Kemudian peristiwa yang membangkitkan semangat di Jepang adalah pernikahan putra Mahkota Naruhito dan Putri Masako pada tahun 1993, Olimpiade Musim Dingin 1998 di Nagano, menjadi tuan rumah piala dunia 2002 bersama Korea Selatan, dan kelahiran putra pangeran Akishino serta putri Kiko pada tahun 2006. Pewaris laki-laki pertama takhta Jepang lahir dalam lebih dari 40 Tahun.
Perkembangan Era Heisei
Jepang memulai era Heisei sebagai awal untuk menggusur Amerika Serikat yang merupakan pemimpin Kapitalisme global di puncak ekonomi dunia, pada tahun 1989 semua tanah di kota-kota besar Tokyo secara di atas kertas lebih dari semua tanah di benua Amerika Serikat. Bursa saham Tokyo menyumbang sebanyak 42 persen dari nilai semua pasar ekuitas dunia.
Bank Jepang adalah salah satu yang terbesar di dunia, perusahaan globalnya adalah inovator dalam teknologi, proses produksi, dan teknik manajemen. Dan sementara Jepang adalah ekonomi terbesar kedua berdasarkan ukuran, angka per kapita untuk individu Jepang telah meningkat menjadi 90 persen dari angka Amerika Serikat untuk bisa menutup kesenjangan.
Namun hal tersebut berubah pada tahun kedua periode Heisei, aset yang dimiliki secara artifisial telah membuat harga saham dan properti melonjak meledak begitu bank Jepang menaikkan suku bunga sebagai upaya menjaga ekonomi sehingga bisa menjadi seimbang. Hal ini memulai penurunan tajam yang signifikan dalam segi aset.
Menyebabkan triliunan Dolar kekayaan lenyap begitu saja, negara Jepang jatuh ke dalam resesi dan kemudian mengalami ‘satu dekade hilang’ dari pertumbuhan ekonomi yang datar. Korporasi dan individu Jepang yang telah meminjam banyak uang pada tahun1980an terkubur di bawah tumpukan hutang dan kerugian besar.
Sementara bank yang telah begitu berhati-hati meminjamkan uang justru terguncang di bawah beban pinjaman serta sulit untuk dipulihkan kembali, secara bersamaan meskipun sebagian besar terpisah dari masalah ekonomi Jepang. Jumlah kelahiran menurun drastis karena kebanyakan wanita memilih untuk menunda pernikahan dan melahirkan.
Hal ini mencerminkan proses yang terjadi di negara maju lainnya tetap lebih menonjol di Jepang, porsi penduduk di atas usia enam puluh lima tahu tumbuh dengan baik. Sementara untuk jumlah usia muda yang mendukung usia tua justru menurun, populasi Jepang mulai menurun drastis hingga menyentuh angka 127 juta dengan masyarakat desa dan kota kecil yang menghilang.
Pada akhir era Heisei, pasar saham Tokyo telah pulih dari posisi terendahnya tetapi masih sedikit lebih dari setengah puncaknya pada tahun 1989. Harga properti yang belum kembali seperti semula masih begitu banyak, bank-bank Jepang memang berhasil menghentikan sebagian besar kredit tunggakan yang macet. Namun harus melewati banyak proses yang melelahkan hingga akhir.
Hingga saat ini terdapat sebuah cerita tentang perusahaan Jepang yang masih terbebani hutang, seperti misalnya Canon yang masih menanggung beban masa lalu. Produsen mobil Jepang tetap hadir secara global, tetapi sebagian besar produksi dan manajemen mereka telah dipindahkan ke luar negeri. Dan hanya Toyota dan Honda yang tetap sepenuhnya dimiliki oleh Jepang.
Terlepas dari itu, perusahaan yang memproduksi smartphone seperti Sony dan Panasonic saat ini pun beralih ke banyak bidang untuk beradaptasi. Seperti misalnya televisi, mesin cuci, pendingin ruangan. Terdapat juga anggapan bahwa Jepang akan menjadi salah satu calon untuk menjadi pemimpin baru kapitalisme global pada tahun 1989 ini.
Perlawanan Era Heisei
Terdapat dua jenis perlawanan yang jelas terlihat pada periode Heisei, pertama adalah sebuah perlawanan yang kerap kali disebut dengan lambang ohm. Gaya yang harus diatasi untuk melewatkan arus listrik melalui konduktor, hal ini telah membuat Jepang berhasil membuat perlawanan terhadap perubahan.
Orang Jepang yang menjadi istimewa di bawah sistim pemerintahan lama dan terikat pada visi tertentu menjadi dalang utama dari perlawanan ini, perubahan sistim politik, struktur ekonomi, perlindungan perdagangan, dan terutama perubahan dalam hal struktur dasar masyarakat. Memang sebuah perjalanan yang menyakitkan dan sering kali terbentur dengan ideologi masing-masing.
Usulan perlawanan ini berada di pos perdana menteri saat itu, yaitu Koizumi Junichiro yang memiliki partainya sendiri. Ketika pihak oposisi menggagalkan RUU reformasi yang akan dilaksanakan kala itu, Koizumi menyerukan pemilihan cepat pada September 2005 untuk meminta mandat reformasi dan membersihkan anggota partai yang menentangnya.
Jenis oposisi lain yang ada selama periode Heisei digambarkan sebagai ‘perlawanan pasif yang besar’, dari perubahan Jepang terhadap struktur dasar masyarakat Jepang mendatang. Kota Kobe yang hancur dan terbakar setelah gempa besar pada tahun 1995 merupakan wujud nyata dari kekuatan mental masyarakat Jepang, sehingga bisa bangkit kembali.
Pada masa ini, pernikahan di Jepang masih diselimuti dengan pemikiran konservatif. Bukan hanya mengenai ikatan romantis antara pria dan wanita, melainkan mengutamakan memperbanyak keturunan untuk melanjutkan garis tanggung jawab dari generasi sebelumnya. Laki-laki bekerja dan mencari nafkah untuk rumah tangga, perempuan tetap di rumah untuk merawat dan melahirkan anak-anak,
Hal ini membuat kasih sayang dan cinta dalam kehidupan rumah tangga dikesampingkan, karena yang utama adalah kembali membuat banyak penerus untuk di masa mendatang. Wanita Jepang yang lebih tua membuat perlawanan karena mengetahui meningkatnya angka perceraian, sementara untuk pihak wanita muda lebih menunda menikah karena mengutamakan pekerjaan.
Bahkan ketika berhasil menikah pun mereka sering kali menunda persalinan dan hanya memiliki satu anak saja, laki-laki muda juga terbukti kurang antusias terhadap ikatan pernikahan. Karena memiliki kewajiban sosial untuk menjadi pencari nafkah utama keluarga. Hal ini berarti lebih dari sekadar bekerja keras, namun juga berkomitmen untuk mengabdikan sepenuhnya diri pada seseorang.
Pada Era Heisei di Jepang memang kerap kali disebut sebagai periode pertumbuhan dan perbaikan bagi Jepang, namun dengan perjalanan panjang yang telah dilalui. Terbukti hingga saat ini, Jepang berhasil menjadi salah satu negara adidaya di dunia setelah berhasil jatuh dan bangun dalam hal mental mau pun infrastruktur. Jangan lewatkan pembahasan terbaru di www.jepang-indonesia.co.id.