News & Events
Hanetsuki : Olahraga Bulu Tangkis khas kota Tokyo
- May 20, 2022
- Posted by: Appkey 001
- Category: Permainan Tradisional
Bila membahas mengenai olahraga khas Indonesia, tentu terdapat banyak jenis olahraga yang ditemukan dan dimainkan di Indonesia. Salah satu olahraga yang populer dan menjadi kebanggaan di Indonesia adalah badminton, olahraga yang dikenal banyak orang ini menjadi identitas negara sejak lama. Namun tahukah teman-teman bahwa Jepang pun memiliki hanetsuki?
Hanetsuki adalah
Hanetsuki merupakan salah satu permainan tradisional Jepang yang sering kali dimainkan pada liburan tahun baru Jepang, permainan ini pun memiliki aksi dari seorang perempuan dalam hal keberuntungan di mana dua pemain saling mengikatkan benih bernama soapberry dengan hagoita. Istilah ini disebut dengan battledore dan dikenal sebagai ritual Shinto pada zaman dulu.
Hanetsuki adalah sebuah bentuk ritual Shinto dengan tujuan bagi mereka yang memiliki anak perempuan, ritual ini dilakukan untuk membuat harapan bagi para gadis agar bisa tumbuh sehat dan memiliki keberuntungan di masa mendatang. Hanetsuki pun sering dimainkan oleh para kalangan bangsawan di istana pada periode Nara, pada awalnya permainan ini disebut dengan Gi-Cho.
Sebagai informasi tambahan, pada periode tersebut pun terdapat beberapa ritual yang kerap kali dilakukan. Seperti Hamaya yang merupakan ritual panah untuk mengusir setan dan ritual Hamayumi yang merupakan ritual busur untuk mengusir setan. Hal ini ditujukan bagi para anak laki-laki sebagai ritual Shinto dan busur serta panah sebagai simbol anak laki-laki.
Diperkirakan pada tanggal 15 Januari ritual Hanetsuki kerap kali dimainkan, hal ini dilengkapi dengan dekorasi Hagoita terutama pada periode dari liburan tahun baru hingga festival tahun baru.
Cara memainkan Hanetsuki
Pada dasarnya, hanetsuki dimainkan oleh dua pemain secara satu lawan satu. Dua pemain berdiri secara berhadapan dengan dilengkapi dengan sebuah alat atau raket, hal ini bisa teman-teman bayangkan layaknya olahraga badminton. Namun dalam hanetsuki, raket kayu ini dikenal dengan istilah hagoita yang masing-masing dipegang oleh kedua pemain.
Bila dalam olahraga badminton, para pemain menggunakan raket untuk memindahkan shuttlecock dari satu sisi ke sisi lainnya. Hal ini hampir sama dengan hanetsuki, namun isitlah shuttlecock diganti dengan nama bandy hane. Memiliki bentuk bola kayu kecil dengan bulu di sekitarnya, pada awalnya bola karet kecil ini dilengkapi dengan biji soapberry yang disebut dengan hago.
Berbeda dengan olahraga badminton, dalam permainan hanetsuki tidak menggunakan jaring sebagai pembatas antar pemain. Ukuran lapangan pun tidak ditentukan layaknya olahraga badminton, pemain yang gagal untuk memukul dianggap mendapatkan kerugian. Dan pemain yang gagal menerima penalti akan mendapatkan tanda silang di pipinya dengan menggunakan tinta.
Biasanya tinta yang digunakan merupakan tinta India, tindakan memberikan tanda silang di pipi ini merupakan bentuk keberuntungan dan tinta India dianggap memiliki efek perlindungan dari kejahatan yang menyertai anak-anak. Tidak hanya itu saja, terdapat anggapan bahwa tinta India ini pun memberikan perlindungan dari berbagai macam penyakit yang ada.
Anggapan Hanetsuki saat ini
Menurut perkembangannya hingga saat ini, hanetsuki kerap kali dilambangkan oleh gambar wanita dan anak-anak mengenakan pakaian tradisional Jepang. Hal ini dikenal sebagai tradisi musiman di liburan tahun baru, dan orang-orang Jepang mengakui bahwa permainan hanetsuki dianggap memiliki kemiripan dengan bulu tangkis atau badminton.
Karena hukuman yang ada dianggap lucu, terkadang hanetsuki dimainkan pada acara-acara tertentu. Misalnya pada penayangan permainan di televisi dan pemain yang kalah akan mendapatkan hukuman serupa, yaitu akan dilukis dengan tinta hitam di bagian muka. Tindakan ini dianggap sebagai hiburan yang kerap kali dipertontonkan.
Sejarah Hanetsuki
Diceritakan bahwa Gi-Cho mengalami perubahan seiring berjalannya waktu, cho memiliki arti tongkat diubah menjadi hagoita yang berubah menjadi sebuah raket kayu. Dan Gi memiliki arti bola diganti menjadi isitlah hane yang merupakan bola kecil dengan memiliki bulu-bulu di sekitarnya, tidak jarang menggunakan buah soapberry sebagai bahan dasar.
Salah satu teori menyebutkan bahwa alsan mengapa Gi digantikan dengan hane adalah karena seni bela diri, tarian, atau permainan menenang beban yang diikat atau ditendang merupakan asli dari China. Kemudian dipadukan dengan Gi-Cho yang berasal dari Jepang, perpaduan hal-hal inilah yang menghasilkan hanetsuki hingga saat ini.
Pada periode Nara, kemari (permainan sepak bola kuno di Jepang) merupakan sebuah ritual Shinto bagi anak laki-laki, sedangkan Gi-Cho diperuntukkan bagi anak-anak perempuan. Gi-Cho adalah permainan yang melibatkan bola dengan Cho (tongkat) layaknya bulu tangkis dan memiliki keterikatan erat dengan ritual Shinto.
Pada periode Muromachi, istilah ‘tongkat’ digunakan untuk menghindari kebingungan dengan Gi-Cho sebagai ritual Shinto, oleh karena itu hal ini diubah menjadi istilah hagoita dan bola karet diubah menjadi kacang soapberry. Dan hingga saat ini Gi-Cho menjadi lebih mirip dengan hanetsuki, turnamen hanetsuki dikenal dengan hanetsuki taikai atau koginoko shobu diadakan bagi bangsawan.
Kompetisi ini diperuntukkan bagi berbagai jenis kelamin, bagi perempuan atau laki-laki dan hadiah bagi para pemenang akan mendapatkan sake terbaik. Istilah soapberry menggunakan karakter Jepang yang berarti ‘anak-anak tanpa penyakit’, harapan ini untuk keadaan kesehatan yang sempurna dari anak-anak perempuan di dalam kandungan.
Pada periode Sengoku (periode negara berperang), karena faktor sejarah dan festival menjadi lebih kuat. Dekorasi sebagai bentuk pengusiran setan atau keberuntungan diberikan kepada hagoita daripada hanetsuki, hagoita kemudian diwarnai dengan aksesoris sebagai jimat keberuntungan. Dalam sebuah tulisan istilah hane dianggap sebagai capung.
Dan memiliki keinginan untuk melindungi dari gigitan nyamuk, karena penyakit menular sering disebarkan oleh perantara nyamuk. Perlindungan dari nyamuk menjadi penting pada saat itu, pada zaman Edo. Keluarga Samurai mulai menghadirkan hagoita dalam perayaan kelahiran anak perempuan, kebiasaan ini menyebar di antara orang-orang biasa.
Hal ini menjadi semakin populer untuk menjadi persembahan hagoita kepada keluarga dengan anak perempuan sebagai seibo (hadiah akhir tahun) dari jimat keberuntungan di akhir tahun. Inilah asal usul permainan hanetsuki kerap kali dimainkan pada liburan tahun baru.
Hagoita
Sejak ada pohon yang disebut dengan koginoki, benihnya terlihat seperti hane dari hanetsuki maka dinamai tsukubane. Hagoita terkadang dibuat untuk dekorasi dalam festival, dekorasi ini dibuat secara mewah dengan gambar kain yang ditinggikan. Desain bunga dan burung pun menjadi pelengkap keindahan dekorasi satu ini.
Haneuta
Saat permainan atau ritual hanetsuki dimainkan, terdapat lagu yang digunakan untuk menyertainya. Berikut merupakan lirik lagu haneuta yang kerap kali dinyanyikan.
(satu)
Hito go ni futago,
mi watashi yo mego,
itsu kitemo,
mukashi nana no yakushi,
kokono maede toyo.
(dua)
Hitori kina,
Futari kina,
Sannin kitara,
Yotte kina,
Itsu kitemitemo,
Nanako no obiwo,
Yatara ni shimete,
Kokono maede toyo.
Terdapat berbagai versi lirik lagu yang biasanya digunakan, namun lirik lagu di atas merupakan dua dari banyaknya versi yang ada. Tidak ada yang salah dengan versi-versi tersebut, hal tersebut tergantung kepada pilihan teman-teman.
Bagaimana teman-teman? Apakah tertarik untuk memainkan hanetsuki? Atau tertarik untuk mempelajari lebih dalam mengenai ritual Shinto hanetsuki? Penasaran dengan pembahasan selanjutnya mengenai kebudayaan Jepang? Maka dari itu selalu tunggu pembahasan terbaru dari kami ya!