Blog
Geisha Sang Wanita Penghibur di Jepang
- November 30, 2022
- Posted by: Appkey 001
- Category: Budaya Jepang
Geisha adalah artis pertunjukkan wanita Jepang, secara tradisional ‘disewa’ untuk menjamu dan menemani tamu sebagai salah satu pelayanan di bidang hiburan Jepang. Selama acara berlangsung, mereka akan bernyanyi, menari, menampilkan musik, dan memperkenalkan beberapa budaya seperti upacara minum teh.
Geisha di Jepang
Makna pelayanan yang ada dalam konteks ini adalah memberikan apa keinginan dari para tamu, seperti menyajikan makanan dan minuman serta menemani tamu mengobrol tentang banyak hal. Dalam bahasa Indonesia, ‘gei’ memiliki arti seni atau hiburan, dan kata ‘sha’ memiliki orang. Maka dari itu, makna penamaan Geisha adalah orang yang memberikan hiburan.
Seorang wanita yang ingin menjadi wanita seni ini harus menjalani magang terlebih dahulu, pekerjaan ini bisa dibilang sebagai hal yang tidak mudah dilakukan karena diperlukan kedisiplinan dan ketelitian dalam menjalani beberapa tahap. Saat menjalani magang, para peserta akan mempelajari banyak keterampilan dan disebut dengan maiko.
Durasi waktu yang dibutuhkan selama magang begitu beragam, namun secara umum dibutuhkan sekitar lima tahun untuk bisa menjadi wanita seni. Seorang maiko akan mempelajari banyak hal tentang kesenian Jepang, seperti misalnya belajar menyanyi yang baik, belajar menari, dan memainkan alat musik. Kemampuan dalam bercakap pun akan dilatih saat magang.
Sementara untuk segelintir orang, makna Geisha masih menimbulkan banyak perdebatan. Di Jepang sendiri penyebutan tersebut hanya istilah untuk seorang wanita penghibur tradisional, meskipun sekarang istilah tersebut justru menimbulkan makna negatif terlebih bagi orang asing di luar Jepang.
Penyebutan istilah ini awalnya hanya digunakan untuk wilayah Tokyo saja, padahal untuk daerah Tokyo sendiri penyebutan wanita penghibur cenderung menggunakan penamaan ‘geiko’. Penamaan ini berasal dari kata ‘gei’ yang memiliki arti seni dalam bahasa Indonesia, dan ’ko’ yang memiliki arti sebagai anak-anak atau remaja.
Di kota barat Jepang, seperti Niigata dan Kanazawa istilah lain yang digunakan adalah ‘geigi’. Sama seperti penyebutan di daerah lain bahwa kata ‘gei’ memiliki makna sebagai seni. Sedangkan arti kata ‘gi’ memiliki arti wanita artistic atau mampu memberikan hiburan dalam bahasa Indonesia. Meskipun berbeda nama, namun pekerjaan yang dilakukan kurang lebih sama.
Geisha Masa Sekarang
Meskipun jumlah Geisha di Jepang terus menurun sejak zaman keemasannya, yaitu periode Edo (1603-1867). Namun diperkirakan masih ada sekitar 600 wanita seni yang bekerja di Jepang hingga saat ini. Bagi yang berminat tersedia jalur karir yang diberikan, beberapa wanita muda masih tertarik pada daya pikat dan kelebihan yang ditawarkan oleh pekerjaan satu ini.
Saat ini, sebagian besar wanita penghibur yang ada justru bekerja di wilayah Kyoto daripada Tokyo. Meskipun di daerah lain pun masih ada beberapa seperti Kanazawa, Niigata, dan Hachioji. Namun kebanyakan bisa mudah ditemukan di daerah Kyoto dan Tokyo, Distrik tempat wanita seni ini berkumpul dikenal dengan ‘Hanamachi’, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai kota berisi bunga.
Penamaan ini hadir pada abad ke 17 ketika undang-undang diselesaikan untuk menampung bentuk hiburan tertentu di lingkungan yang telah disediakan, hanamachi paling terkenal di Jepang adalah Gion, Kyoto. Di mana sejumlah rumah penginapan geisha yang dikenal dengan ‘okiya’ tetap ada hingga sekarang.
Daerah ini popular di kalangan turis dan merupakan salah satu tempat terbaik untuk melihat wanita seni modern, gang sempit Ponto-Cho dan Kamishichiken di barat laut adalah dua ‘kota bunga’ yang tersisa di Kyoto. Kanazawa memiliki tiga hanamachi yang terkenal, yaitu higashi chaya yang bersejarah.
Di dalamnya terdapat Ochaya Shima, kedai tertua yang dibangun pada tahun 1820. Tempat ini pernah menjadi tempat pertunjukkan wanita seni ini dan sekarang dibuka untuk umum, Tokyo sendiri memiliki enam distrik hanamachi yang tersisa dan paling umum di antaranya adalah di Asakusa dan Kagurazaka.
Tampilan Geisha
Elemen mendasar dari penampilan wanita seni ini adalah riasan yang begitu mencolok, baik maiko seorang wanita seni magang. Atau pekerja yang sudah professional, mereka akan menutupi wajah dengan alas bedak putih tradisional yang disebut dengan ‘oshiroi’. Bedak ini dicampur dengan air yang akhirnya memiliki tekstur seperti pasta.
Lapisan lilin yang disebut dengan bintsuke abura pun dioleskan untuk menghaluskan kulit sebelum oshiroi ditempelkan pada wajah. Selanjutnya, lipstik merah yang halus dan khas (beni) pun ditambahkan bersama eyeliner hitam serta pigmen merah di bawah bagian mata. Alis yang sangat tegas digambar sebagai penampilan ikonik dari seorang wanita seni.
Seorang Geisha melakukan rutinitas ini setiap hari, waktu yang dibutuhkan selama 30 menit hingga satu jam. Satu-satunya bagian yang bebas dari bedak adalah belakang leher, di mana dua atau tiga bercak kecil kulit bening tidak dilapisi. Ini disebut dengan istilah eri- ashi dan dibiarkan memberikan kesan leher panjang. Riasan dihapus pada penghujung malam.
Alasan asli untuk riasan seperti itu sama praktisnya dengan tampilan dekorasi dalam sebuah tempat, selama abad ke 19 kedai teh hanya diterangi cahaya lilin yang remang-remang dan riasan putih Geisha membantu menerangi wajah mereka selama pertunjukkan berlangsung. Teknik ini sudah lazim di Jepang, karena awalnya digunakan oleh pemeran kabuki di teater.
Anggapan Geisha
Kesalahan asumsi yang umum terjadi adalah bahwa wanita seni ini dianggap sebagai pekerja seks komersial, padahal pada dasarnya wanita seni ini tidak diperbolehkan dan memang tidak bisa tidur bersama klien. Meskipun hal ini pernah terjadi, namun sudah lama sejak zaman Edo ada. Karena simpang siur pemahaman, kesalahan ini menjadi bias hingga saat ini.
Wanita seni di Jepang murni hanya sebagai penghibur, dan tidak terlibat dalam tindakan seksual dengan tamu atau klien mereka. Beberapa kesalahan makna muncul berkat adanya kejadian seperti di bawah ini.
- Yukiku
Pada abad ke 16 di era Shogun, pihak kekaisaran mengizinkan untuk menciptakan ‘yukiku’. Hal ini adalah distrik di mana bentuk hiburan disediakan dalam hal prostitusi dilegalkan, di distrik ini wanita seks komersial yang memiliki kelas tinggi dikenal dengan istilah ‘oiran’. Hampir merupakan gambaran mirip dengan wanita seni karena tampilannya.
Pelayanan yang diberikan pun serupa seperti menyanyi, menari, dan melakukan obrolan ringan. Oiran pun terlibat dalam hal prostitusi, meskipun biaya yang sangat tinggi untuk menyewanya. Namun layanan ini tetap ramai digunakan, terlebih bagi kalangan orang-orang kaya dan mereka yang selalu haus akan kebutuhan biologis.
- Mizuage
Meskipun tidur dengan klien dilarang untuk wanita seni, praktik ‘mizuage’ tidak jarang dilakukan pada masa lalu. Mizuage melihat klien menawar hak untuk mengambil keperawanan maiko dan dilihat sebagai bagian dari upacara kedewasaan untuk bisa naik menjadi wanita seni. Tawaran terakhir akan dibayarkan ke rumah penginapan maiko tersebut.
Sedangkan ironisnya, maiko justru tidak mendapatkan keuntungan sama sekali. Praktik ini menyebar luas hingga akhirnya dilarang dengan disahkannya undang-undang anti-prostitusi di Jepang pada tahun 1956.
- Gadis Geisha
Alasan lain mengapa beberapa orang menganggap wanita seni adalah pekerja seks komersial berasal dari penyebutan ‘gadis geisha’. Setelah perang dunia II, banyak pekerja seks komersial mengenakan kimono sambil mengiklankan diri mereka sebagai gadis prostitusi kepada pasukan penduduk luar negeri yang ditempatkan di Jepang.
Hasilnya stigma bahwa wanita seni sebagai wanita prostitusi menjadi semakin runyam, namun di masa yang modern ini seharusnya banyak orang yang sudah teredukasi dengan baik sehingga bisa membedakannya. Terlepas dari itu semua, wanita seni ini merupakan kebudayaan Jepang yang masih ada hingga saat ini. Tertarik untuk membaca pembahasan lain tentang Jepang? Kunjungi www.jepang-indonesia.co.id.